Meritocracy telah dikenal sejak zaman Yunani kuno sebagai konsep politik yang lebih mengedepankan talenta, kecakapan serta jejak capaian prestasi tinggi melalui usaha keras seseorang ketimbang faktor status keturunan atau kelas sosialnya guna menduduki jabatan-jabatan politik dan atau publik. Meskipun merupakan konsep lawas, tapi terminologi meritocracy itu lebih dikenalkan oleh Michael Dunlop Young (1958). Dengan segenap kelebihan dan kekurangannya, maka untuk lingkup organisasi militer, pemerintahan dan bisnis modern, konsep meritocracy tersebut telah diadopsi bagi upaya sistematik guna meningkatkan produktivitas karyawan atau orang dan organisasi. Penerapann kebijakan merit system pertama kali di Indonesia didasarkan pada instruksi JB Sumarlin selaku Menteri Keuangan Kabinet Pembangunan V (1988-1993) bagi lingkup BUMN yang kala itu masih berada dibawah pengelolaan Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN. Kemudian penerapan merit system yang lebih luas di Indonesia ditegaskan melalui Undang-Undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menimbang berlakunya prinsip merit dalam pengelolaan orang, pegawai atau karyawan di organisasi pemerintahan Indonesia. Sedangkan pemerintah Amerika Serikat telah lebih dulu menerapkannya lewat berlakunya perundangan Civil Service Reform Act 1978, yang mendasarkan prinsip merit system dalam pengelolaan pegawai pemerintahan federal sebagaimana ketentuan section 2301 – title 5, United States Code.
Apa itu Merit System?
Merit system adalah kumpulan interaktif sub-system kebijakan pengelolaan orang atau karyawan dan organisasi berbasis merit, yaitu segenap perilaku dan kinerja orang serta unit organisasi yang apabila tergolong baik akan dihargai dengan kenaikan penghasilan dan atau karir jabatan dan bagi mereka yang tergolong buruk patut memperoleh hukuman yang dapat berupa penurunan penghasilan dan atau karir jabatan (Jiwo Wungu & Hartanto Brotoharsojo; 2003). Dalam format bagan, konsep dasar merit system ini lebih mudah dipahami sebagaimana gambar berikut:

Berdasarkan bagan konsep tersebut, maka dari perspektif teori modifikasi perilaku, merit system menjadi model terapan paling sederhana untuk meningkatkan kinerja organisasi perusahaan lewat peningkatan kinerja dan produktivitas setiap karyawannya. Segenap kinerja karyawan dalam jabatannya berdasarkan kebijakan merit system sesungguhnya dapat digolongkan kedalam dua kategori yang menimbulkan konsekuensi berbeda. Bagi yang berkinerja bagus – secara individual atau kelompok karyawan yang adalah sekaligus juga merupakan kontributor terbaik bagi kinerja organisasi sepatutnya untuk menerima penguatan positif berupa kenaikan imbalan jasa dan atau promosi karir jabatan. Dan bagi yang berkinerja jelek atu buruk – secara individual atau kelompok karyawan yang adalah juga kontributor paling sedikit bagi capaian kinerja organisasi sewajarnya dapat menerima penguatan negatif berupa penurunan imbalan jasa dan atau karir jabatan. Sebagai umpan balik, kedua konsekuensi itu sepenuhnya berbeda. Pada umumnya para karyawan lebih butuh dan menginginkan penguatan positif ketimbang yang negatif. Secara rasional atau pun emosional tentulah itu merupakan pilihan terbaik bagi mereka. Oleh karena itu, satu-satunya jalan untuk memperoleh penguatan positif atau positive reinforcement adalah melalui usaha keras guna mencapai kinerja tinggi. Dan apabila seluruh karyawan organisasi perusahaan melakukan hal yang serupa maka kinerja organisasi secara totalitas akan meningkat. Itu pula sebabnya model merit system – dengan pendekatan tailor made – berpotensi akan meningkatkan kinerja dan produktivitas orang atau karyawan yang lalu berdampak pada peningkatan kinerja unit kerja serta produktivitas organisasi perusahaan secara keseluruhan.
Unjuk Kinerja
Guna lebih dapat memahami dan memanfaatkannya secara lebih sederhana, maka merit sebagai kualitas perilaku seseorang atau sekelompok orang akan lebih mudah diukur dalam wujudnya sebagai kinerja atau performance. Dalam hal tersebut, merit system pada hakikatnya merupakan pengelolaan orang atau karyawan dan organisasi berbasis kinerja (performance based) yang unjuk kinerja atau tampilannya merupakan hasil interaksi atau resultante dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) faktor penentu, yaitu: 1) kemampuan (capability to perform); 2) motivasi atau semangat (willingness to perform); dan 3) kesempatan untuk menampilkan unjuk kinerja (opportunity to perform).
Kedua faktor penentu pertama unjuk kinerja, yaitu kemampuan dan motivasi kerja seseorang adalah variable penentu yang berada dibawah kendali karyawan disamping tentu saja sedikit-banyaknya ada juga pengaruh faktor lingkungan. Seorang karyawan yang berkemampuan tinggi belum tentu berunjuk kinerja tinggi apabila motivasi atau dorongan untuk itu lemah. Kuat-lemahnya motivasi itu sendiri dapat berasal secara intrinsik akibat oleh pengaruh dari jenis pekerjaannya dan atau bersifat ekstrinsik akibat pengaruh diluar pekerjaan. Dikatakan berada dibawah kendali karyawan karena kedua faktor kemampuan dan motivasi ini sepenuhnya terdapat dalam diri karyawan. Secara hipotetik, keduanya adalah variable yang controllable bagi seorang karyawan.
Sedangkan faktor kesempatan berunjuk kinerja (opportunity to perform) merupakan variable yang berada diluar diri dan oleh karenanya tidak dalam kendali karyawan. Pada konteks organisasi perusahaan, faktor ini berada dalam kendali manajemen dan atau regulasi perusahaan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan oleh karyawan. Keberhasilan penerapan merit system secara mendasar antara lain ditentukan oleh seberapa mampu organisasi perusahaan mengelola fungsionalisasi ketiga faktor pengaruh unjuk kinerja tersebut agar harmonisasi resultante yang dihasilkannya bermanfaat besar bagi capaian optimal kinerja perusahaan secara menyeluruh. Konsep unjuk kinerja (performance) tersebut dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

Formulasi Kebijakan Merit System
Setiap organisasi memiliki karakternya sendiri-sendiri dan dapat dipastikan berbeda dari organisasi lain mesikipun memiliki kegiatan bisnis yang sama persis. Karena ciri individual differences dari setiap organisasi yang khas tersebut, maka dalam perumusan kebijakan merit system diperlukan tailor made berbasis gabungan pendekatan top-down dan bottom-up agar segenap kebijakan yang dihasilkan memiliki nilai terapan yang paling optimal mampu meningkatkan kinerja orang dan organisasi secara keseluruhan.
Termasuk dalam pendekatan top-down antara lain terkait dengan pertimbangan atas data dan informasi tentang regulasi dan teori-teori baku pengembangan organisasi dan orang. Sedangkan pendekatan bottom-up terkait dengan data dan informasi yang berasal dari fakta lapangan serta lazim diperoleh melalui kegiatan penelitian atau riset atas dinamika organisasi dan orang-orang yang terlibat dalamnya. Sekurang-kurangnya terdapat tiga (3) kebijakan utama yang perlu diformulasikan dalam merit system, yaitu 1) penilaian kinerja (performance appraisal); 2) imbalan jasa (compensation); 3) pola karir (career planning)termasuk didalamnya pola diklat (education & training). Sedangkan support data yang dibutuhkan untuk membuat formulasi kebijakannya dapat berasal dari kegiatan studi analisa jabatan (job analysis), analisa beban kerja (workload analysis) serta riset karyawan (employees’ research). Untuk lebih mudahnya, maka pendekatan formulasi kebijakan merit system tersebut dapat digambarkan melalui bagan berikut:

Kritik Merit System
Dalam implementasi kebijakan merit system perlu diperhatikan beragam kritik yang bila itu mau dianggap sebagai risiko bencana maka diperlukan mitigasi yang diprogramkan demi dapat mencapai keberhasilan penerapan merit system sebagai pendekatan sistematik guna meningkatkan produktivitas orang atau karyawan dan organisasi yang optimal. Berikut ini adalah beberapa contoh kritik terhadap merit system dan alternatif program mitigasinya bagi lingkup organisasi bisnis swasta dan atau pemerintahan.
Ragam Kritik Merit System | Alternatif Program Mitigasinya Pada Lingkup Organisasi |
Daniel Markovits (2019): “Meritocracy Trap”yang mengakibatkan ketidakadilan karena setiap orang hakikatnya punya modal dasar sosial berbeda sehingga yang kemudian akan sukses lagi-lagi hanyalah mereka dari kalangan elite saja | Tahap awal penerapan kebijakan merit system didasarkan pada data obyektif tentang kualifikasi dan jejak kinerja (track record) karyawan, kemudian pada tahap selanjutnya perlu lebih fokus pada basis data capaian kinerja obyektifnya saja |
Michael Sandel (2020): “The Tyranny of Merit” yang merujuk pada neo-liberalism dengan pendidikan sebagai tirani dan juga biang masalah terjadinya ketimpangan | Pendidikan hanyalah salah satu variable pengaruh karena penentu keberhasilan karyawan dalam merit system adalah capaian kinerjanya secara menyeluruh |
Anthea Ong (2018): Meritocracy disinyalir menjadi salah satu penyebab gangguan mental health lewat peningkatan kecemasan (anxiety) yang memicu depresi dan pada titik ekstrim fatalnya bisa mengakibatkan seseorang bunuh diri | Penerapan merit system perlu mendorong tumbuh kembangnya semangat gotong royong (team work) menilik hakikat organisasi sebagai sekumpulan orang-orang guna mencapai tujuan bersama – bukan demi capaian tujuan perseorangan |
Critical Race Theory (CRT): prinsip dasar dan praktik meritocracy itu buruk karena hanya menimbang capaian prestasi yang cenderung mengabaikan hal penting lainnya seperti ras dan gender | Tahap awal proses pengambilan putusan merit system didasarkan pada data kuantitatif namun untuk putusan finalnya perlu menimbang aspek kualitatif yang dinilai kritis seperti halnya ras dan gender |
Robert Frank (2016): keterkaitan antara merit dan hasil akhirnya itu cukup lemah dan bersifat tak langsung (indirect), dalam konteks kompetitif banyak orang yang berprestasi (merit) tapi hanya sedikit saja orang yang sukses dengan faktor pembedanya adalah keberuntungan (luck) | Berbekal kemampuan, motivasi dan fasilitasi organisasi yang tepat maka unjuk kinerja karyawan adalah sebuah keniscayaan dan variable penentu lain diluar ketiganya yang ikut berperan lebih tepat disebut sebagai berkah (blessing) tapi kerap disalahtafsirkan sebagai luck |
Hannah Arendt (1958): Meritocracy itu bertentangan terhadap prinsip kesetaraan dan sesungguhnya tidak lebih dari bentuk oligarchy lainnya | Pengelolaan merit system membutuhkan transparansi, akuntabilitas serta keadilan dengan basis measurement yang valid dan reliable |
John Thor Ewing (2019): Meritocracy diambil dari gagasan Darwin tentang “the survival of the fittest” sehingga alih-alih setiap orang akan saling membantu guna mencapai tujuan bersama dalam masyarakat madani, maka merit justru mengakibatkan individu secara sendiri-sendiri berebutan maju lebih kedepan dan meninggalkan orang-orang lainnya | Kebijakan merit system perlu mengacu pada prinsip orang sebagai makhluk sosial yang menilai tinggi dan mengutamakan upaya bersama guna mencapai tujuan kelompok unit kerja yang lebih besar dan itu dapat dicapai berkat semangat gotong royong (team work) yang kuat pada format organisasi organik lewat penerapan two ladders career system |
___