Sambil menunggu kejutan agenda acara peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 80 tanggal 17 Agustus 2025 mendatang, saya kembali terkenang dengan kemeriahan HUT RI yang ke 78 dua tahun lalu. Waktu itu sambil mager alias malas gerak karena pemanasan global sebagai akibat dari suhu permukaan bumi yang rata-rata telah naik mendekati 1,5º Celsius seperti disebut oleh badan cuaca PBB (Intergovernmental Panel on Climate Change), saya ikuti rangkaian acara tujuh belasan agustus lewat TV di rumah sambil menikmati ice chocolate. Terkesan berlangsung sersan alias serius tapi santai, sehingga dari sekian rangkaian acara serius – bahkan nyaris menegangkan seperti untuk pengibaran sang saka merah putih oleh paskibraka yang berjalan langkah tegap dengan gerakan patah-patah dan membawa korban terlepasnya sepatu kiri Lilly Wenda pelajar cantik asal Papua Pegunungan si pembawa bendera merah putih itu, sampai joget ria hampir seluruh hadirin saat Putri Ariani – penyanyi moncer penuh talenta peraih golden buzzer American Got Talent (AGT) itu mendendangkan lagu Rungkad gubahan Vhicky Tri Prasetyo. Semuanya tersaji dalam kegembiraan massal rakyat dan bangsa Indonesia.
Di tengah euphoria HUT RI itu, tiba-tiba saya teringat obrolan sersan juga sambil minum teh panas tanpa gula dengan almarhum Pipiet Hutabarat di Menteng Jakarta Pusat. Dia ini dulu pernah disuruh bapaknya sekolah bisnis ke Pittsburg University tapi pulang ke Indonesia malah bawa selembar ijazah bachelor of music saking begitu cintanya pada musik. Bahkan sampai meninggalnya karena sakit, dia tetap konsisten hidup bermusik, mengabaikan bisnis pabrik textile warisan bapaknya di Sumatra Utara. Pipiet waktu itu bertanya dengan muka serius: “sebagai psikolog, menurutmu pada sakit jiwa apa gak ya kalau ada orang yang sedang patah hati – dan pastilah sangat sedih, tapi nyanyinya lagu dangdut berlirik merana sambil berjoget ria?” Dalam cara pandang Pipiet yang jebolan sekolah musik Amerika, fenomena itu dinilainya paradox, abnormal. Anomali?!
Rungkad
Judul lagunya Rungkad (Sunda) yang bermakna “tumbang (sampai akar-akarnya terbawa)” seperti bisa kita simak di kamus Sunda-Indonesia yang disusun oleh Maman Sumantri dan kawan-kawan, terbitan Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Depdikbud RI tahun 1985. Makna dari judul lagunya itu konsisten diikuti oleh lirik campuran Bahasa Jawa dan Indonesia – sungguh jadi cermin proses kreatif seniman berlatar budaya Jawa tapi punya semangat kebangsaan Indonesia, seperti: “Rungkad, Entek Entekan, Kelangan Kowe Sing Paling Tak Sayang, Bondoku Melayang, Tego Tenan, Tangis Tangisan; Mungkin, Aku Terlalu Cinta, Aku Terlalu Sayang, Nganti Ra Kroso Dilarani”. (Rungkad, habis-habisan, kehilangan kamu yang paling kusayang, hartaku melayang, sungguh teganya, tangis-tangisan; mungkin aku terlalu cinta, aku terlalu sayang, sampai gak kerasa disakiti).
Disonansi
Orang psikologi mungkin akan bilang bahwa berjoget ria memakai lagu sedih itu merupakan cerminan dari disonansi atau dissonance, yaitu “an unpleasant psychological state resulting from inconsistency between two or more elements in a cognitive system” (Festinger; 1957). Ketidaknyamanan psikologis sebagai akibat dari inkonsistensi dua atau lebih elemen dalam sistem kognitif seseorang itu banyak kita jumpai pada situasi nyata sehari-hari. Misal, fenomena orang yang dengan santainya tanpa rasa bersalah memarkir kendaraan di area “dilarang parkir” (huruf “P” coret) atau menerobos lampu merah traffic light di perempatan jalan saat tidak ada polisi. Kemudian ada contoh kasus dokter yang melarang pasiennya merokok agar tidak sakit-sakitan, padahal setelah pasien itu balik kanan si dokter mulai menyulut rokok kreteknya.
Di lingkup perpolitikan Indonesia terjadi dramaturgi perselingkuhan tokoh-tokoh politik yang masih pakai jaket warna merah tapi mendukung calon presiden berjaket putih, kuning dan atau sebaliknya. Para aktor selingkuhan politik membela diri fenomena itu sebagai ekspresi serta dinamika demokrasi yang indah. Sebelumnya pernah ada ruling party yang pernah masyhur lewat TV dengan slogan “katakan tidak pada korupsi” tapi para elitnya dicokok KPK dan masuk penjara gegara korupsi. Gempita kampanye anti korupsi birokrasi pemerintahan juga masih diwarnai oleh fenomena “pinjam dulu seratus” untuk sekedar memperlancar pengurusan kartu keluarga di kelurahan sampai urusan pemenangan tender pekerjaan BTS (Base Transceiver Station) serta judi online alias judol bernilai triliunan. Setelah korupsi dalam kiprah makelar kasus alias markus di lingkup pencari keadilan merebak, kemudian sekarang ini kita memasuki musim oplosan. Tak kurang ada bensin oplosan, minyak goreng oplosan, pupuk oplosan, beras oplosan, dan mungkin juga ada ijazah oplosan.
Masih ada banyak lagi contoh lain kasus disonansi dalam kehidupan kita sehari-hari umumnya dengan kadar serta intensitas yang berbeda-beda. Seorang ahli psikologi klinis dipastikan bisa mengukur kadar disonansi tersebut lalu membuat kategori gangguan emosi (emotional disorder) bertaraf ringan-sedang-berat. Untuk ini kita tidak perlu khawatir, karena seperti layaknya sakit jantung, kanker, corona atau segala rupa penyakit fisikal lainnya, maka gangguan emosi yang menurut data keluaran Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) diidap oleh 1 dari 10 orang atau lebih tepatnya 9,8% populasi orang Indonesia itu juga bisa disembuhkan oleh ahli jiwa (tolong jangan dibaca “dukun”).
Kompensasi
Apabila basis teori Festinger tentang disonansi itu dirasa belum cukup menjelaskan fenomena perilaku orang-orang yang berjoget ria pakai lagu Rungkad, mungkin kita bisa gunakan perspektif lain dari cara pandang Alfred Adler (1870-1937). Dokter ahli jiwa dari Austria ini mendasarkan diri pada pengalaman pribadi yang semasa kecilnya sakit-sakitan sehingga kerapkali dirundung oleh kawan-kawan sebaya dan oleh karenanya menjadi cenderung rendah diri. Atas jejak deritanya itu setelah menjadi dokter dia melakukan berbagai riset mendalam untuk lalu sampai pada justifikasi, bahwa fenomena perilaku seperti berjoget riang pakai lagu lara itu sesungguhnya merupakan perwujudan dari perilaku kompensasi (compensation). Adler mendefinisikan kompensasi itu sebagai perilaku sadar atau tidak sadar untuk menutupi kelemahan, rendah diri, frustrasi, hasrat atau perasaan yang kurang atau tidak sempurna (dalam hal ini kesedihan) lewat perilaku atau tindakan yang dinilainya lebih hebat (dalam hal ini berjoget). Dan untuk itu kita mungkin boleh bersyukur karena di Indonesia kita tertolong (?) atau malahan musibah (?) oleh ada dan berkembangnya genre musik koplo yang mampu merubah ritme lagu nelangsa jadi meriah. Ada pesan dari salah satu lagu God Bless – band cadas Indonesia yang pernah berjaya pada masanya itu: “dunia ini panggung sandiwara”. So, mari berjoget ria diatas penderitaan kita yang berpanjang-panjang. “Jogetin aja”, begitu pungkas Denada sambil lunjak-lunjak riang di panggung.
____